Taman Nasional Sebangau Dengan Berbagai Manfaat

 Kawasan taman nasional sebangau pada umumnya dikelola dengan tujuan memperoleh manfaat langsung (tangible benefit) maupun manfaat tidak langsung (intangible benefit). kawasan taman nasional sebangau dimanfaatkan untuk, pemanfaatan kawasan taman nasional sebangau, pengelolaan taman nasional, pemanfaatan taman nasional, manfaat taman nasional, cara mengelola taman nasional, kawsan konsernasi taman nasional, konservasi ekosistem, keanekaragaman hayati, ekowisata, sosial ekonomi masyarakat taman nasional, manfaat taman nasional, taman nasional sebangau bermanfaat.

Taman Nasional pada umumnya dikelola dengan tujuan memperoleh manfaat langsung (tangible benefit) maupun manfaat tidak langsung (intangible benefit). Tujuan ini dapat dicapai dengan memaksimalkan nilai total ekonomi dari kawasan konservasi, bukan hanya penerimaan finansial tetapi nilai lainnya sebagai habitat berbagai jenis makhluk hidup, penyedia tata air, penyedia karbon, pengendali erosi dan banjir, pengatur iklim, pengendali ekosistem alan dan lain sebagainya.

Salah satu cara untuk melakukan evaluasi ekonomi adalah dengan menghitung nilai ekonomi total. Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat ditentukan dengan benar dan mengenai sasaran (Kementerian Kehutanan,2014).

1 Konservasi Ekosistem 

Kawasan Taman Nasional Sebangau (TNS) merupakan kawasan dengan ekosistem rawa gambut. Ekosistem gambut Sebangau memiliki kondisinya yang relatif baik daripada daerah sekitarnya dan memiliki manfaat penting sebagai gudang penyimpan karbon dan pengatur tata air di Kabupaten Katingan, Pulang Pisau dan Kota Palangkaraya.

Oleh karena itu faktor penentu kualitas hidup manusia, baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun global adalah salah satu kestabilan ekosistem. Didalamnya terdapat keanekaragaman flora fauna khas. Namun demikian hutan rawa gambut merupakan ekosistem yang rentan (fragile), dalam artian hutan ini sangat mudah rusak dan sangat sulit dikembalikan lagi ke kondisi awalnya  (Gunawan, 2014).


Menurut Pusat Penelitian Biologi LIPI (2006) megatakan bahwa ekosistem hutan rawa gambut Taman Nasional Sebangau memiliki beragam jenis flora yang unik seperti agathis (Aghatis sp), belangeran (Shorea belangeran), bintangur (Calophyllum sclerophyllum), jelutung (Dyera costulata), menjalin (Xanthophyllum sp), dan ramin (Gonystylus bancanus).

Umumnya jenis-jenis tumbuhan tersebut menempati tipe ekosistem hutan primer dan sekunder. Komunitas hutan primer adalah hutan primer bekas tebangan, sehingga hutannya telah mengalami kerusakan namun sebagian hutannya masih relatif baik, dimana tegakan-tegakan jenis tumbuhan primernya masih terlihat rapat. Sedangkan komunitas hutan sekunder merupakan komunitas yang telah terdegradasi dengan kuat akibat aktivitas manusia (Gunawan, 2014)

Taman Nasional Sebangau memiliki karakter unik berupa hamparan hutan rawa gambut di sepanjang pinggiran sungai yang memiliki air sungai berwarna hitam kecoklatan. Kawasan Taman Nasional Sebangau meliputi 7 (tujuh) sub tipe hutan, yaitu: hutan riparian yang ditandai dengan tumbuhan rasau yang berada di pinggir Sungai Sebangau, hutan rawa campuran, hutan transisi, hutan tegakan rendah, hutan tegakan tinggi, hutan intrusi granit dan hutan kanopi rendah (Gunawan, 2014).

Kawasan taman nasional sebangau pada umumnya dikelola dengan tujuan memperoleh manfaat langsung (tangible benefit) maupun manfaat tidak langsung (intangible benefit). kawasan taman nasional sebangau dimanfaatkan untuk, pemanfaatan kawasan taman nasional sebangau, pengelolaan taman nasional, pemanfaatan taman nasional, manfaat taman nasional, cara mengelola taman nasional, kawsan konsernasi taman nasional, konservasi ekosistem, keanekaragaman hayati, ekowisata, sosial ekonomi masyarakat taman nasional, manfaat taman nasional, taman nasional sebangau bermanfaat.

2. Konservasi Keanekaragaman Hayati

Keluarnya surat Menteri Kehutanan yang telah menunjuk Sebangau sebagai Taman Nasional ke-50 pada 19 Oktober 2004 melalui Surat Keputusan Nomor. SK.423/Menhut-II/2004, tindakan konservasi memiliki manfaat penting penting dalam pengelolaannya demi menjaga dan mengembalikan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya.

Hal ini dikarenakan kawasan Sebangau merupakan hutan produksi yang dikelola dan ijinnya telah berakhir sehingga pembalakan liar terjadi setelahnya. Di dalam kawasan tersebut terdapat spesies makhluk hidup seperti orang-utan dan spesies lainnya seperti bekantan, beruang madu, owa-owa, burung enggang, harimau dahan dan beberapa spesies tumbuhan seperti anggrek, kantong semar, jamur dan lainnya. 
       
Dalam perkembangannya, konservasi merupakan tahap awal sebagai dasar perlindungan ekologi, dengan menggunakan teknik yang signifikan dalam mengembangkan kerapatan, topik dan keuntungan dari konservasi itu sendiri. Arambiza & Painter (2006) mengemukakan suatu gagasan dimana perlu dicari suatu model manajemen konservasi yang dapat digunakan dalam pengelolaan lahan di daerah tropis secara terpadu untuk mendapatkan keseimbangan antara kebutuhan lahan, kebutuhan masyarakat, penyangga kehidupan, konservasi keanekaragaman hayati serta fungsi ekosistem.

Upaya yang dilakukan para ahli untuk mengadakan pembaharuan dan masih dibutuhkan adanya sebuah konsep yang efektif dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia dan juga tepat digunakan untuk melindungi keanekaragaman yang ada di kawasan tanam nasiona. Para ahli ikut merespons konsep ini untuk menjawab konsep berbagi (sustainability science) secara luas pada kemampuan memperbaharui (sustainability) dan terapannya telah menjadi dasar munculnya berbagai penelitian lanjutan (Arambiza & Painter, 2006).


Perlindungan terhadap kawasan konservasi sering dianggap sebagai pembatasan ruang gerak masyarakat yang ada di sekitarnya. Oleh sebab itu di dalam pengelolaan Kawasan Taman Nasional Sebangau dikembangkan sistem zonasi berdasarkan proses pemetaan partisipatif, dimana adanya kesepakatan bersama dengan masyarakat untuk menetapkan areal-areal yang merupakan wilayah tradisional masyarakat, areal yang perlu direhabilitasi dan areal inti. Dengan demikian diharapkan ada tanggungjawab bersama dalam menjaga kelestarian wilayah tersebut, dengan tetap memperhatikan pertimbangan secara ilmiah dan objektif mengenai kondisi dan kelayakan lingkungan.

Dengan adanya Taman Nasional, Sebangau dapat tetap terjaga kelestariannya dan sekaligus tetap dapat memberi manfaat bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya. Usaha penjagaan kelestarian dan pemberian manfaat sumber daya alam di kawasan Sebangau pada masyarakat sekitarnya dilakukan oleh Balai Taman Nasional Sebangau bekerjasama dengan WWF-Indonesia. Kerjasama ini juga dikoordinasikan dengan pemerintah provinsi dan kabupaten serta dinas/instansi terkait lainnya.

Kawasan taman nasional sebangau pada umumnya dikelola dengan tujuan memperoleh manfaat langsung (tangible benefit) maupun manfaat tidak langsung (intangible benefit). kawasan taman nasional sebangau dimanfaatkan untuk, pemanfaatan kawasan taman nasional sebangau, pengelolaan taman nasional, pemanfaatan taman nasional, manfaat taman nasional, cara mengelola taman nasional, kawsan konsernasi taman nasional, konservasi ekosistem, keanekaragaman hayati, ekowisata, sosial ekonomi masyarakat taman nasional, manfaat taman nasional, taman nasional sebangau bermanfaat.

3. Ekowisata

Ekowisata diperkenalkan oleh organisasi The Ecoutourism Society (1990), dengan arti suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Ekowisata biasanya dilakukan oleh wisatawan pecinta alam dengan keinginan daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari di samping budaya dan kesejahteraan masyarakatnya tetap terjaga.

Tidak terlepas dari kegiatan tersebut, ekowisata juga memberi manfaat bagi pebisnis dan biasanya dilakukan sebagai perjalanan bisnis. Berdasarkan pada kegiatan tersebut, muncullah pengertian ekowisata yang baru yaitu bentuk baru dari perjalanan bertanggungjawab ke area alami dan berpetualangan yang dapat menciptakan industri pariwisata (Eplerwood, 1999).

Ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi. Ekowisata biasanya hanya memanfaatkan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik, dan psikologis wisatawan. Di daerah Taman Nasional Sebangau pada tahun 2003, pihak WWF Kalimantan Tengah memberangkatkan salah satu Strategic Planning dengan membentuk Working Group Community Empowerment untuk menjadikan konservasi hutan serta isinya bermanfaat bagi masyarakat. Ada beberapa manfaat penting dari pengembangan ekowisata di kawasan taman nasional sebangau, yakni:
  • Meningkatkan pengembangan di bidang ekonomi.
  • Mengkonservasi warisan alam & budaya.
  • Meningkatkan kualitas kehidupan dalam masyarakat lokal.
IUCN (1995) menggambarkan bahwa di taman nasional yang mendapat pemasukan dari wisatawan, tidak hanya menciptakan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan tetapi juga dapat digunakan untuk mendukung memenuhi kebutuhan masyarakat lokal yang digunakan untuk:
  • Memperbaiki fasilitas komunikasi dan jalan-jalan.
  • Pendidikan;
  • Pelatihan
  • Pelayanan kesehatan.
Pengelolaan ekowisata pada kawasan Taman Nasional Sebangau adalah salah satu cara untuk membantu masyarakat untuk mempertahankan atau memperbaiki standar kehidupan dan kualitas kehidupan mereka. Hal itu dapat diukur pada beberapa aspek seperti pengurangan polusi air dan udara serta peningkatan akses ke tempat-tempat wisata dan taman nasional pada bagian lainnya.

4. Sosial Ekonomi Masyarakat

Perdebatan antara pengelola Taman Nasional (TN) dengan masyarakat lokal, penebang liar, dan pemerintah daerah, terutama sekali berkaitan dengan tata aturan pemanfaatan sumberdaya alam TN dan hak-hak masyarakat atas potensi yang ada dalam TN mewarnai pertengkaran antara pengelola TN dengan masyarakat secara umum. Penciptaan dan penerapan peraturan tentang TN yang kurang mempertimbangkan asupan dari masyarakat merupakan akar pemicu perdebatan panjang yang melelahkan tersebut. Dengan demikian pemahaman tentang keadaan sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar TNS sangat penting.

Setelah melakukan konservasi di Kawasan Taman Nasional Sebangau dan melakukan wawancara dengan dua perwakilan masyarakat lokal yang bekerja sebagai pengemudi klotok untuk mengantar para peneliti atau badan yang melakukan konservasi dari Dermaga Kereng Bangkirai menuju Taman Nasional Sebangau menyatakan bahwa pekerjaan rata-rata masyarakat di dalam 2 RT adalah sebagai nelayan.

Jumlah penduduk yang diperkirakan ada di wilayah Kereng Bangkirai sebagai jalur masuk utama ke Kawasan Taman Nasional Sebangau berjumlah kira-kira 150 kepala keluarga memiliki pendidikan rata-rata tamatan SLTA dan sebagian adalah tamatan Universitas. Sebelum bahkan sampai sudah terbentuknya Taman Nasional Sebangau pernah terjadi konflik dengan masyarakat, dikarenakan masyarakat belum mengetahui arti penting dan tujuan dari Taman Nasional.

Masyarakat merasa takut akan dilarang untuk datang dan memperoleh hasil dari Taman Nasional ini karena sebelumnya masyarakat menggunakan wilayah ini untuk mengambil hasil hutannya dan sebagai mata pencaharian masyarakat sehingga terjadi kesalahan komunikasi antara masyarakat dengan pengurus Taman Nasional Sebangau.

Untuk melakukan pendekatan dengan masyarakat maka pengurus sosialisasi dan studi banding serta diberikan bantuan-bantuan seperti pembuatan keramba dan pemeliharaan sapi sehingga secara perlahan akhirnya masyarakat mengerti dan mulai menerima keberadaan taman ini. 

Efek langsung yang diberikan Taman Nasional Sebangau ini terhadap masyarakat adalah penghasilan yang diperoleh masyarakat melalui jasa transportasi, membantu penelitian yang didominasi oleh para peneliti terutama yang melakukan konservasi. Selain itu banyaknya pengunjung yang menuju ke Taman Nasional yang singgah ke wilayah wisatanya di Pelabuhan Kereng Bangkirai meningkatkan perekonomian masyarakat baik itu melalui uang masuk ke kawasan maupun jasa foto yang ada serta warung yang menyediakan berbagai macam cemilan yang banyak dikunjungi pengunjung.

Kawasan taman nasional sebangau pada umumnya dikelola dengan tujuan memperoleh manfaat langsung (tangible benefit) maupun manfaat tidak langsung (intangible benefit). kawasan taman nasional sebangau dimanfaatkan untuk, pemanfaatan kawasan taman nasional sebangau, pengelolaan taman nasional, pemanfaatan taman nasional, manfaat taman nasional, cara mengelola taman nasional, kawsan konsernasi taman nasional, konservasi ekosistem, keanekaragaman hayati, ekowisata, sosial ekonomi masyarakat taman nasional, manfaat taman nasional, taman nasional sebangau bermanfaat.

Menurut Awang (2006), mengikuti penelitian yang pernah dilakukan oleh Persoon & Aliayub (2002) secara ekonomi dan budaya, kehidupan dan cara hidup penduduk tersebut bergantung pada potensi sumberdaya alam yang ada di dalam kawasan hutan yang ditunjuk sebagai kawasan Taman Nasional Sebangau. Secara umum kegiatan ekonomi kayu sangat dominan dalam keluarga. Masyarakat banyak menggantungkan hidupnya di lahan bekas HPH sebelum menjadi Taman Nasional untuk mengambil kayu. 

Sumber ekonomi masyarakat yang penting adalah kegiatan menangkap ikan di sungai-sungai dan danau-danau kecil di dalam kawasan yang ditunjuk sebagai kawasan TNS. Etnik Dayak dan Banjar mendominasi kegiatan penangkapan ikan untuk pemenuhan ekonomi susbsisten (cukup dikonsumsi sendiri) dan untuk “cash income” keluarga.

Ikan segar berbagai jenis di jual dengan harga antara Rp 6.000 – Rp 8.000 per kg. Bagi masyarakat di desa-desa sekitar Pegatan, penangkapan udang di muara dan laut merupakan sumber ekonomi penting, masyarakat pada pagi hari sudah pergi dengan perahu “klotok” mereka untuk menangkap udang di laut dengan menggunakan jaring sungkur.

Jenis ikan yang terdapat di perairan sungai-sungai dan danau-danau kecil sekitar dan dalam kawasan Taman Nasional Sebangau yang ditangkap oleh masyarakat tahun 2002 dan tahun 2006 adalah antara lain: udang sungai, seluang, kalatau (tampala/sambaling), kapar/kakapar, tatabun, patun, bapuiuk, haruan/gabus, meau,karandang, kihung, tahumas, ikan tapah, kesung, peang, lawang, padadasei, la’is, baung, buaya sampit, buaya kaman, buaya katak, balidah, bakut, pentet, lindung, lambaiut.

Semua ikan yang ditangkap tersebut dikonsumsi langsung oleh keluarga, dan dijual dalam bentuk segar atau diasinkan. Kegiatan ekonomi yang berasal dari pertanian, kehutanan dan peternakan juga memberikan kontribusi penting bagi ekonomi masyarakat. Kegiatan pertanian seperti berladang membuka hutan dengan teknik tebas dan bakar untuk mendapatkan padi untuk dikonsumsi oleh keluarga. Kegiatan pertanian ini tidak dilakukan oleh semua masyarakat, sebab banyak penduduk lebih suka menebang kayu untuk memperoleh uang dengan cepat (instant income). Di desa-desa transmigrasi yang penduduknya berasal dari Jawa dan sunda biasanya menanam ubi kayu, pisang, jagung, lada, dan tanaman palawija lainnya.

Penduduk Dayak biasa juga memelihara sapi dan masyarakat Jawa lebih suka memelihara kerbau. Memelihara sapi bagi orang dayak ada kaitannya dengan upacara tiwah, upacara pemakan kedua kali bagi masyarakat yang mampu, sebagai penghormatan kepada yang meninggal. Upacara tiwah ini merupakan upacara budaya dayak yang sering dilakukan sampai sekarang. Sementara itu hewan kerbau digunakan oleh masyarakat transmigrasi untuk pengolahan lahan sawah.


Selain itu juga mengumpulkan rotan dari dalam hutan dan membudidayakan tanaman rotan di lahan milik atau kebun-kebun rakyat sudah menjadi kebiasaan masyarakat suku dayak di Borneo. Sejak awal tahun 2004 perdagangan rotan tingkat masyarakat mengalami kelesuan karena harga jual rotan tidak sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan masyarakat. Untuk mengatasi kesulitan ekonomi keluarga, maka para pengumpul rotan melakukan kegiatan penebangan kayu di dalam hutan.

Hasil hutan lainnya yang diambil masyarakat dari dalam hutan adalah kayu gaharu, mengumpulkan getah kayu jelutung, mencari getah damar, mengumpulkan kulit kayu gemor, mengambil tepung sago dan menyadap getah karet dalam jumlah sedikit. Gemor merupakan kulit dari pohon-pohon yang hidup di daerah rawa seperti Alseodaphne umbeliflora (gemor), Coriaceae, Lauraceae.

Tanaman karet belum menjadi tanaman penting bagi ekonomi rakyat, karena ada kesulitan ekologis baik pada masalah kesulitan mencari lokasi penanaman karet maupun karena kesulitan transportasi untuk memasarkan getah karet. Padahal tanaman karet ini merupakan tanaman yang mampu beradaptasi dengan kawasan gambut secara lebih baik. Tanaman karet berupa kebun-kebun karet di desa Petak Bahandang, yang masuk kawasan Taman Nasional Sebangau.

Getah jelutung merupakan sumber pendapatan penting bagi masyarakat dayak. Getah jelutung biasanya di jual kepada pedagang lokal, dan kemudian di jual ke pedagang di kota Palangkaraya. Biasanya pedagang getah jelutung juga menjadi pedagang rotan dan getah karet. Hasil hutan non kayu seperti getah jelutung ini di jual ke Jepang dan pasar Europa.

Harga getah jelutung di tingkat desa sekitar Rp 280.000 per kuintal (100 kg). Masa depan pohon jelutung dapat diandalkan sebagai penyangga ekonomi rakyat di sekitar hutan rawa TNS, sebab secara alami jelutung dapat tumbuh baik di rawa-rawa, permudaan alaminya banyak, dan sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat sekitar Taman Nasional Sebangau.

Potensi wisata yang ada di Taman Nasional Sebangau merupakan peluang untuk dimanfaatkan oleh warga masyarakat. Misalnya saja pengelolaan danau-danau kecil yang indah, pengelolaan wisata alam orang utan dalam Taman Nasional Sebangau.

Potensi wisata tersebut akan memicu pembangunan sarana dan prasarana angkutan perahu motor kelotok untuk wisata, pemandu wisata lokal, dan rumah penginapan serta rumah makan. Dengan demikian ekonomi masyarakat sekitar Taman Nasional Sebangau akan terangkat dan ikut berkembang. Ini adalah potensi yang harus digali bersama antara masyarakat dengan pengelola Taman Nasional Sebangau sehingga manfaatnya lebih efektif.

Pustaka
Arambiza & Painter. 2006. Biodiversity Conservation and The Quality of Life of Indigenous People in The Bolivian Chaco, Human Organization Spring 2006, ABI/INFORM Research

Awang,S; A.Kasim; B.Tular dan Nur Salam. 2005. Menuju Pengelolaan Kolaborasi Taman Nasional: Kasus Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. CARE

Awang, S A. 2006. Perencanaan Kolaborasi Taman Nasional Sebangau.WWF Kalimantan Tengah https://tnsebangau.files.wordpress.com/2018/03/san-afri-awang_2006-colaboration-management-plan-of-sebangau-np.pdf diakses 6 Januari 2019

Dudley, Nigel. 2008. Guidelines For Applying Protected Areas Management Categories. IUCN. Gland, Swiss

Eplerwood, M. 1999. The Ecotourism Society’-an international NGO commited to sustainable development. Tourism Recreation Research 24, 199-123

Gunawan, Adib. 2015. Buku Statistik Taman Nasional Sebangau Tahun 2014. Kementerian Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Taman Nasional Sebangau.

Internasional Indonesia, Kendari. Persoon, G.A and Aliayub, A. 2002. A socio-economic profile of the Sebangau Watershed Area, Central Kalimantan. WWF Indonesia- Sebangau Watershed Orang-Utan Conservation Project.

Kementerian Kehutanan, 2014. Modal pengelolaan kawasan konservasi berbasis ekosistem. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 28 tahun 2011. Pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.

The Ecotourism Society. 1990, dalam Fandeli, et al. 2000. Pengusahaan Ekowisata. Fahutan UGM. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
close